Nama saya Tasya Putri Kamila, NPM
17118002, Kelas 2ka27. Saya membuat tulisan ini sebagai tugas untuk melengkapi forum diskusi minggu ke-10 Mata Kuliah Pengantar Akuntansi Keuangan 2 dengan bu
Cicilia Erly Istia sebagai dosennya.
Kali ini, saya akan menjeleaskan
tentang Metode FIFO dan LIFO dalam Akuntansi
FIFO (first in first out)
Memiliki
arti masuk pertama keluar pertama.
Pada
metode ini, unit persediaan yang pertama kali masuk ke gudang perusahaan akan
dijual pertama. Metode FIFO ini didasarkan pada asumsi bahwa aliran cost masuk
persediaan harus dipertemukan dengan hasil penjualannya. Akibatnya, biaya per
unit persediaan yang masuk terakhir dipakai sebagai dasar penentuan biaya
barang yang masih dalam persediaan pada akhir periode (persediaan akhir).
Dalam
penerapan metode FIFO berarti perusahaan akan menggunakan persediaan barang
yang lama/pertama masuk untuk dijual terlebih dahulu. Jadi biasanya persediaan
akhir barang dagangan akan dinilai dengan nilai perolehan persediaan yang
terakhir masuk. Metode FIFO cocok diterapkan pada perusahaan yang menjual
produk yang memiliki masa kadaluarsa, seperti makanan, minuman, obat dan lain
sebagainya. Metode FIFO merupakan metode yang paling umum digunakan dalam
penilaian persediaan. Hal tersebut tentu saja karena ada kelebihan dan
kekurangan yang dipertimbangkan, berikut kelebihan dan kekurangan metode FIFO:
·
Kelebihannya
antara lain dapat menghasilkan harga pokok penjualan yang rendah, menghasilkan
laba kotor yang tinggi, dan dapat menghasilkan persediaan akhir yang tinggi. Nilai
persediaan disajikan secara relevan di Laporan Posisi Keuangan
·
Kekurangannya
adalah pajak yang harus dibayarkan perusahaan ke pemerintah menjadi lebih besar
dan laba yang dihasilkan kurang akurat.
LIFO (last in first out)
Memiliki
arti : yang masuk terakhir keluar pertama.
Metode
ini mengasumsikan unit persediaan yang dibeli pertama akan dikeluarkan di
akhir. Unit yang dijual pertama adalah unit persediaan yang terakhir masuk ke
gudang. Biasanya, persediaan akhir barang dagangan akan dinilai dengan nilai
perolehan persediaan yang pertama atau awal masuk.
Metode
biaya persediaan LIFO ini didasarkan pada asumsi bahwa aliran keluar biaya
persediaan merupakan kebalikan dari kronologi terjadinya biaya. Pada metode
ini, harga beli terakhir dibebankan ke operasi dalam periode kenaikan harga
(inflasi), sehingga laba yang dihasilkan akan kecil dan pajak yang terutang
juga menjadi lebih kecil.
·
Kelebihan
LIFO adalah jadi lebih mudah membandingkan cost saat ini dengan pendapatan
sekarang sehinnga apabila harga naik maka harga barang jadi konservatif, dan laba
operasional tidak terpengaruh oleh untung atau rugi dari fluktuasi harga, serta
dapat juga menghemat pajak.
·
Kekurangannya
adalah LIFO bertolak belakang dengan aliran fisik persediaan sesungguhnya, biaya
pembukuan menjadi mahal karena metode ini lebih rumit, dan laba atau rugi yang
dihasilkan lebih rendah
Contoh serta hasil analisa :
FIFO
Sebagai ilustrasi mengenai metode penilaian persediaan FIFO
dalam sistem persediaan periodik, saya sajikan contoh ayat jurnal persediaan
awal dan pembelian barang pada bulan Januari 2018 berikut ini :
Perhitungan fisik pada tanggal 31 Januari 2018 terdapat sisa
persediaan sebanyak 150 unit. Dengan menggunakan metode FIFO, biaya sisa
persediaan pada akhir periode berasal dari biaya perolehan paling akhir. Biaya
150 unit dalam persediaan akhir pada tanggal 31 Januari 2018 dihitung sebagai
berikut :
Mengurangkan biaya persediaan per 31 Januari 2018 sebesar Rp
3.250.000 dari biaya barang tersedia untuk dijual sebesar Rp 5.880.000 akan
menghasilkan harga pokok penjualan sebesar Rp 2.630.000. Sebagaimana
ditunjukkan seperti berikut ini :
Persediaan akhir 31 Januari 2018 sebesar Rp 3.250.000
berasal dari biaya perolehan paling akhir.
HPP sebesar Rp 2.630.000 berasal dari biaya persediaan awal
dan biaya paling awal.
Hasil Analisa :
Ketika
metode penilaian persediaan FIFO digunakan selama periode inflasi atau kenaikan
harga-harga secara umum, biaya unit yang lebih awal akan lebih rendah
dibandingkan dengan biaya unit paling akhir, seperti ditunjukkan dalam contoh
di atas. Oleh karena itu metode FIFO akan menghasilkan laba kotor yang lebih
tinggi. Akan tetapi, persediaan perlu diganti dengan harga yang lebih tinggi
daripada yang ditunjukkan oleh HPP (harga pokok penjualan).
Kenyataannya, neraca akan melaporkan persediaan akhir pada nilai yang
kurang lebih sama dengan biaya penggantian atau biaya untuk membeli barang
persediaan sejenis saat ini. Ketika tingkat inflasi mencapai dua digit, seperti
yang pernah terjadi pada tahun 1970 an di Amerika Serikat, laba kotor yang
tinggi yang dihasilkan dari penggunaan metode FIFO sering disebut laba
persediaan atau laba ilusi. Sebaliknya, selama periode deflasi atau penurunan
harga-harga secara umum, pengaruhnya adalah kebalikannya.
LIFO
Berdasarkan data seperti yang sama dengan contoh metode
FIFO, biaya 150 unit dalam persediaan akhir per 31 Januari 2018 dihitung
sebagai berikut :
Mengurangkan biaya persediaan per 31 Januari 2018 sebesar Rp
3.050.000 dari biaya barang tersedia untuk dijual sebesar Rp 5.880.000 akan
menghasilkan harga pokok penjualan (HPP) sebesar Rp 2.830.00. Seperti berikut
ini :
Hasil Analisa :
Persediaan akhir per 31 Januari 2018 sebesar Rp 3.050.000
berasal dari biaya perolehan paling awal. HPP (harga pokok penjualan) sebesar
Rp 2.830.000 berasal dari biaya persediaan paling akhir.
Hasil Analisa :
Saat
metode LIFO digunakan selama periode inflasi atau kenaikan harga-harga hasilnya
adalah kebalikan dari metode FIFO. metode LIFO akan menghasilkan jumlah yang
lebih tinggi untuk HPP (Harga Pokok Penjualan). Dan jumlah yang lebih rendah
untuk laba kotor dan jumlah yang lebih rendah untuk persediaan akhir,
dibandingkan dengan metode yang lain. Alasan pengaruh ini adalah biaya peroehan
unit yang paling akhir kurang lebih sama dengan biaya penggantiannya.
Dalam
periode inflasi, biaya unit yang lebih baru akan lebih tinggi dibandingkan
dengan harga unit yang lebih awal. Oleh karena itu, bisa dikatakan bahwa metode
LIFO nyaris berhasil membandingkan biaya saat ini dengan pendapataan saat ini
(matching current costs against current revenues). Selama periode kenaikan
harga-harga, metode LIFO menawarkan penghematan dalam pajak penghasilan. Karena
melaporkan jumlah laba bersih yang lebih rendah dibandingkan metode FIFO dan
biaya rata-rata.
Pada
saat inflasi dua digit tahun 1970-an di AS, banyak perusahaan beralih dari
metode FIFO menjadi LIFO untuk menghemat pembayaran pajak. Tapi, persediaan
akhir dalam neraca bisa berbeda dari biaya penggantian saat ini. Dalam kasus
seperti ini, Laporan Keuangan biasanya memasukkan catatan yang menyebutkan
selisih yang diperkirakan antara persediaan LIFO dan persediaan FIFO. Dan perlu
disadari bahwa pada saat deflasi, atau secara umum terjadi penurunan
harga-harga, maka pengaruhnya sebaliknya.
Dengan menggunakan contoh, misalnya penjualan sebesar Rp
3.900.000, hasil dari perhitungan 130 unit x Rp 30.000, penggalan laporan laba
rugi berikut ini menunjukkan pengaruh setiap metode saat harga naik.
Di satu sisi, metode penilaian persediaan LIFO menghasilkan
jumlah paling tinggi untuk HPP (harga pokok penjualan) dan jumlah paling rendah
untuk laba kotor dan laba bersih, dan juga persediaan akhir. Metode penilaian
persediaan biaya rata-rata menghasilkan jumlah di antara yang dihasilkan FIFO
dan LIFO.
Kesimpulan
Dari pembahasan kedua metode di atas, arus biaya yang
berbeda diasumsikan untuk masing-masing dari tiga metode alternatif biaya
persediaan. Jika biaya unit tetap stabil, seluruh metode akan mendapatkan hasil
yang sama. Akan tetapi karena harga berubah-ubah, tiga metode tersebut biasanya
akan menghasilkan jumlah yang berbeda untuk :
1. Harga pokok penjualan (HPP) untuk periode berjalan
2. Laba kotor dan laba bersih untuk periode tersebut
3. Persediaan akhir
Perhatikan laporan laba rugi sebagian di atas, metode FIFO
menghasilkan jumlah paling rendah untuk HPP (Harga Pokok Penjualan). Dan jumlah
paling tinggi untuk laba kotor dan laba bersih dan juga persediaan akhir.
Komentar
Posting Komentar